Mr.Chapapa

I found no solace in the man-made laws. That's why I sought the divine laws: mathematics
"An Observer of The Deity"


Mungkin kata itulah yang tepat jika melihat seperti apa lebih dalam tentang apa yang terjadi di negeri ini.

Masih banyaknya orang yang terlantar, kelaparan, tidak punya tempat tinggal,bahkan keamanan yang belom terjamin.
Apa itu yang dinamakan suatu negeri? Apa negeri hanya suatu arti lahan yang tak bermakana? Atau malah hanya keuntungan untuk beberapa pihak?

Akan pasti banyak pertanyaan yang timbul sebelum suatu negara benar-benar hancur. Suatu politik yang kejam akan menyiksa mereka yang kecil.

Korupsi..

Sudah pasti terngiang-ngiang di lubuk hati kita jika mendengar hal itu, mereka mengambil hak dari orang lain yang jauh lebih membutuhkanya, yang membuat rakyat kecil tertindas, kurangya kualitas dari pendidikan mereka yang menyebabkan mereka terus saja ditindas.

Susahnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dari sandang, pangan, dan papan. Sebagaimana umumnya manusia adalah harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut karna itulah definisinya, jika tidak dipenuhi apalah bedanya mereka dengan mahluk hidup lain.

Apakah mereka punya rohani hati? Karna mereka yang mengambil yang bukan haknya berfoya-foya dengan lifestyle mereka sedangkan mereka yang diambil haknya terlantar, tertindas dan tersiksa dalam fisik maupun mental.

Apakah ada cara untuk mengatasi itu semua? Apakah kita perlu pahlawan untuk kebenaran?keadilan? apakah ini terus berlanjut? Siapa yang harusnya bertanggung jawab?

Koruptor itu jahat? Polisi sebagai penegak keadilan itu yang benar? Istilah-istilah ini selalu berubah sepanjang perjalanan sejarah! Anak-anak yang belum pernah melihat perdamaian dan anak-anak yang belum pernah melihat perang memiliki nilai yang berbeda. Mereka yang berdiri di atas menentukan apa yang salah dan apa yang benar. tempat ini adalah tanah yang netral. Keadilan akan menang, Anda katakan? Tapi tentu saja itu akan bisa terjadi, tapi yang utama Siapa pun yang memenangkan perang ini menjadi keadilan! 



Hancurnya negeri ini


Sesuatu hal yang ingin paling indah dalam hidup gw akan gw coba utarakan paling dalam bagaimana matematik bisa merubah hidup gw sampe pemikiran gw  terhadap semua objek.
Semua bermula dari umur gw  sekitar 6-7 tahun karna mungkin hal yang bisa gw ingat hanya sampai situ. gw  adalah pribadi yang  bodoh dan sama sekali mengerti apa esensi dari belajar itu sendiri, terbukti ketika selama perjalanan gw sampai lulus SMP(Sekolah menengah pertama) gw selalu peringkat paling bawah di kelas gw.

Hal itu terus terjadi sampai gw lulus smp, gw masih gk ngerti apa esensi dari belajar. Dan masih sama seperti dulu, gw selalu bete/males banget dan malah bisa sampe bikin pala gw sampe stress  ketika disuruh belajar. Sampe akhirnya gw punya pertanyaan sama temen gw yang hobinya emang belajar terus:

Belajar buat apa sih ?
Kenapa sih lu kok belajar terus?
lu ngapain sih belajar cape-cape emang lu mau jadi president?
Dll.

Akhirnya jawabanya yang gw terima tidak yang seperti diharapkan, yang membuat gw gk ada perubahan sampe gw lulus dari smp.
Awal pelajaran baru pun dimulai, gw masih sama seperti dulu bodo amat walaupun udah lulus dari smp tapi apa yang ada sama seperti gw masuk pertama kali sekolah, gw gk dapet apa itu yang dimaksud dari esensi dari belajar itu sendiri. Dan akhirnya tiba di pelajaran matematika, pelajaran yang paling gw benci karna gurunya killer, dan dia pengen semua muridnya bisa tapi apa daya otak gw tidak memadai untuk menampunya.

Alhasil gw selalu kena omel, dan kena hukum selalu dan selalu~
Selesai  dari kelas satu gw naik ke kelas dua, tanpa membawa suatu perubahan. Dan satu hal yang pasti guru matematiknya ganti, gw mendapat guru matematik yang bebas saking terlalu bebasnya sewaktu dia ngajar gw pernah sampe  main PES(Pro Evolution Soccer) kalo ada yang gk tau itu sejenis game sepak bola gitu.

Dan akhirnya sampe gw dimana kelas 3 semester 2, yang temen-temen gw udah pada sibuk dengan persiapan UN, tapi gimana nasib gw??
Dan akhirnya gw punya niat dikit buat gogling sesuatu yang gw gk ngerti tentang salah satu bab dari matematika, dan alhasil gw dapet sesuatu yang sampe membuat gw merinding sekujur badan gw, BOOMM!!.

Gw dapat suatu situs e-learning gitu yang didalamya gw dapet apa yang sama sekali gw dapetin sewaktu gw sekolah dari sd,smp,sma. gw dapat apa itu esensi belajar, belajar itu buat apa, guna belajar itu apa sampe gw merubah pikiran-pikiran gw tentang belajar itu 360 derajat.
Akhirnya gw jadi suka banget sama matematika, dan sampe gw jadi belajar mtk sendiri tanpa paksaan dan gw iklah sepenuh hati.gw ngerti buat apa belajar? Apa belajar buat nilai? Ato belajar buat orang tua?  Itulah jawaban-jawaban temen gw dulu ketika gw tanya buat apa belajar, dan gw punya jawaban sendiri yang untuk pertanyaan itu yaitu, “Belajar untuk kesenangan sendiri”.
Apa yang gw pelajari dari e-learning itu pun bukan semata-mata mengajari gw tentang bagaiman caranya dapet nilai yang bagus, tapi lu bakalan dapat lebih bagaimana lu bisa suka sama pelajaran itu,
 “karna ketika lu udah suka sama pelajaran itu lu bakal lihat sendiri hasilnya”.

Alhasil selama sem2 gw fokus sama pelajaran matematik sendiri sepulang sekolah gw belajar sampe malem, tiap hari gw lakuin itu dan sekali lagi tanpa paksaan.dari belajar itu gw jadi bisa menganalisa segala hal dari fisika, kimia, maupun biologi jadi gw suka juga.

Sampe akhirnya gw jadi suka mengkritisi segala hal yang emang menurut gw salah, selama pengalaman gw, gw pikir orang bego/bodoh akan selamanya pasti seperti itu dan ternyata itu salah sebenarnya bodoh itu lu karna gk mau belajar dan gk tau apa itu esensi dari belajar itu sendiri, jadi solusi yg gw saranin sama pemerintah adalah untuk memfokuskan anak sejak dini belajar bukan jadi salah satu beban tapi malah menjadi kesenangan anak itu sendiri disitulah guru dilihat untuk pembangun karakter.


The Beauty In Mathematics


Budaya bangsaku telah habis ditelan waktu
Waktu yang terus bergulir higga aku menatap langit terlalu lama
Aku tidak melihat anak-anak yang bermain di dalam keramaian
Dimana budayaku yang dulu ada, apa sudah ditelan waktu?

Apakah ini benar? Apakah ini salah?
Siapa yang tahu?
Kemana penerus-penerus budaya bangsaku?
Apakah ini yang namanya perubahan?
Terasa sangat aneh kurasakan.

Apa yang mereka sedang lakukan?
Menghilangkan budaya bangsa ku?
Kemana budaya-budaya itu?
Mengapa kebanyakan dari mereka sudah pergi ke negeri lain?

Budayaku yang hilang..
Semoga kau bisa kembali bangkit
Untuk mengenang semua para pendahulu kita
Dan tetaplah kau menjadi kenangan yang terindah.

Budayaku yang hilang



Apakah dunia ini sudah ada kedamaian?
Ia, kebanyakan orang mati memang berkata seperti itu.
Tetapi apa yang saya lihat dalam realita kehidupan orang yang hidup berbalik.
Dimana masih ada peperangan dan penindasan dimana-mana.
Dimana ada manusia yang diperbudakan seperti hewan.

Jadi, Apakah dunia ini bisa mewujudkan kedamaain?
Bisa, kebanyakan orang yang sudah mati memang berkata seperti itu
Memang apalah yang bisa kulakukan?
Membuat fajar? Menghela bulan? Atau membangunkan yang mati?

Apa Dunia ini memang dicipta memang bukan untuk kedamaian?
Dimana kedamaian itu? Dalam keadilan,
kebanyakan orang yang sudah mati berkata seperti itu lagi
ku pun menjawab semoga keadilan bisa menuntunmu wahai orang mati.

NO Justice NO Peace

Tahukah Anda, bahwa 1/3 warga bumi ini sudah “hidup” di sosial media. Sudah jelas, bahwa sosial media sangat mempengaruhi cara kita berkomunikasi dan bermasyarakat.
Tidak perlu jauh-jauh sampai pengaruhnya ke masyarakatnya. Karena, ke tubuh kita sendiri saja sosial media sudah membawa dampak yang signifikan.





1. Otak Kita Bisa Dibuat Ketagihan



·         Waktu membuka browser yang pertama dibuka Sosial media.
·         Waktu mengejakan tugas, Sebentar-bentar membuka Sosial media.
·         Sedang menaiki kendaraan, membuka Sosial media.

Kita ini memang sudah ketagihan sekali sama yang namanya sosial media. Penelitian saja membuktikan kalau 5-10 persen pengguna internet di dunia ini merasa kesulitan lepas dari media sosial.

Internet addiction disorder (IAD) salah satunya disebabkan karena kita bisa sangat mudah ngedapetin reward—berupa Likes (penghargaan), atensi, serta komentar—dengan usaha yang mudah. Adiksi berinternet ini seperti adiksi yang ditimbulkan narkoba yang bisa mengontrol proses emosi, jangkauan perhatian serta pengambilan keputusan.



2. Konsentrasi (sangat) mudah Terpecah Akibat Kebiasaan Multitasking



·         Sawaktu melihat Facebook di PC(personal computer), kita juga sambil melihat feed Instagram di ponsel,
·         Sewaktu nonton tv, kita cek email di tablet,
·         Sewaktu makan, kita mebuka twiter/facebook dari ponsel.


Terlalu banyaknya ragam gadget, aplikasi serta media sosial membuat kita ingin menggunakannya semua dalam satu waktu. Apalagi semuanya menawarkan kecanggihan dan kesenangan. Dari gadget satu pindah ke gadget lain, dari akun media sosial yang satu ke media sosial yang lain. Kita seolah tak punya kendali untuk konsentrasi pada satu perangkat saja.
Kebiasaan multitasking ini membuat pelaku sangat rentan terhadap intervensi atau distraksi. Pelaku mudah terganggu, konsentrasi mudah pecah, dan kesulitan menyerap informasi. Sebaliknya, pengguna media yang tidak bermultitasking, justru cenderung mudah berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dan mereka cenderung lebih bahagia ketika bermedia sosial.

3. Otak Jadi Terlalu Peka Sama Notifikasi



Media sosial yang selalu memberikan notifikasi setiap kali ada update ternyata berdampak negatif pada sistem syaraf kita. Karena terbiasa melihat ponsel setiap kali tanda notifikasi masuk, kita jadi kerap mengira tanda apa pun (bunyi, getaran, dll) yang mengena ke indera, kita kira sebagai notifikasi dari media sosial yang harus segera kita tanggapi. Gejala inilah yang disebut sebagai phantom vibration syndrome. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Michelee Drouin, 89% dari 290 sampel penelitiannya pernah mengalami sindrom ini.







4. Membuat Hati Senang


Menurut data dari TollFreeForwarding, Memainkan sosial media 10 menit bisa memicu keluarnya hormon oksitosin sebanyak 13%. Hormon oksitosin ini dikenal sebagai hormon yang membuat kita senang.
Setelah itu, penelitian lain juga meneliti kalau bersosial-media memang membuat kita senang dan puas karena bersosial-media itu 80% melibatkan diri kita untuk berinteraksi dengan orang banyak. Hal ini menyebabkan kita gemar mengekspresikan diri dan terobsesi pada diri kita sendiri. Gejala tersebut merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormon dopamine, sebuah hormon yang keluar kita sangat merasa senang, puas.




Adakah satu atau lebih dari dampak di atas yang udah kalian rasakan? Mengetahui dampak-dampak sosial media tersebut, maka penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara interaksi di dunia maya dan interaksi tatap muka. Selain itu, kendali diri juga sangat diperlukan agar kita tidak begitu saja hanyut di belantara dunia maya ini. 

Sosial Media dan Dampak pada Otak kita



Fenomena seperti ini memang udah turun-temurun terjadi dari mulai kecenderungan para senior yang ingin menyalahgunakan posisinya menjadi cenderung menindas yang junior, yang junior pasrah saja sambil mengharap ada junior baru agar bisa membalaskan dendam ke mereka. Budaya senioritas ini berputar terus antar generasi dan tidak ada habis-habisnya.


Nah, sebelum melanjukan saya ingin membahas hal ini, ada hal yang perlu saya beri tau tentang topik kita kali ini sebelumnya. Pertama, ini bukan   tulisan standard tentang senioritas mauun bullying yang pada akhirnya menasehati anda khususnya para mahasiswa baru atau murid sma yang ingin lanjut ke lingkungan mahasiswa pada tentang bahaya bullying dan sebagainya. Tetapi yang akan dibahas lebih ke spesifik tentang  dinamika hubungan antara junior-senior yang sebetulnya tidak sebatas anda  lihat dari sudut pandang negatif saja akan tetapi lebih ke arah hubungan yang lebih luas terutama bagi perkembangan intelektual, mental, karakter, dan juga sumber koneksi anda untuk masa depan. 

Kenapa ada fenomena senioritas?

Sebelum dibahas lebih jauh tentang pertanyaan ini, saya ingin tekankan terlebih dahulu dari definisi "senioritas" yang  dimaksud disini bukan hanya sebatas stigma negatif yang secara umum dipikirkan seputar penyalahgunaan kekuasaan, hazing, bullying, dan sebagainya, tetapi justru lebih ke arah hubungan interaksi antar kelompok memiliki jenjang umur serta pengalaman yang berbeda dalam lingkungan yang sama. Nah, dalam pengertian tersebut budaya senioritas ini bisa ditelusuri dari perspektif anthropology maupun biologis.
Budaya ini diperkirakan sudah ada sejak jaman hunter-gatherer (berburu-mengumpul) sekitar 80.000 - 12.000 tahun yang lalu. Yaitu, ketika manusia masih hidup dalam kelompok kecil-kecil, dan menggantungkan hidupnya dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Pada periode tersebut, manusia mengalami peningkatan kemampuan adaptasi yang luar biasa, dimulai dari terciptakan sistem agrikultur, taktik berburu, dan yang paling penting adalah tradisi budaya yang terjadi secara turun-temurun.
Nah, coba anda pikirkan, kenapa kebudayaan manusia bisa berkembang seiring berjalannya waktu? Ya pasti karena adanya transfer ilmu pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. Bayangkan kalau saja tidak ada transfer ilmu pengetahuan. Ilmu seseorang hanya berhenti di satu orang atau generasi itu aja. Ketika orang itu mati, manusia-manusia lain harus eksplor dan mulai dari awal lagi untuk discover ilmu yang sama. Nah, itulah awal mula dari konsep senioritas yang sudah dijalankan sistem kemasyarakatan yang seperti tersebut.
Waktu jaman hunter-gatherer, ekspektasi umur manusia rata-rata itu tidak setinggi sekarang yang bisa meninggal rata-rata di umur 65 ke atas. Jaman dahulu hunter-gatherer itu, sangat jarang ada orang yang ngelewatin usia 40. Jangankan 40, 15 atau 20 aja kemungkinan besar sudah tewas dimakan macam-macam hal, bisa binatang buas, keracunan makanan, kecelakaan, bencana alam, perang antar suku, dan sebagainya. Jadi, buat individu manusia yang bisa berhasil bertahan sampe umur 40 tahun lebih, sudah pasti dianggap paling "sakti", paling bijak, dan yang jelas paling sukses dalam bertahan hidup. Makanya mereka yang berhasil menembus usia 30-40 begitu dihormati dan udah dianggap jadi panutan buat masyarakatnya. Sebaliknya mereka yang senior juga senang untuk berbagi ilmu kepada anak-anak, cucu-cucu, maupun junior-juniornya agar masyarakat tersebut bisa terus berkembang dan beradaptasi.
Dengan perspektif seperti ini, anda bisa melihat jelas perbedaan definisi dari "senioritas" yang lebih ideal, di mana senioritas itu tidak hanya sekedar dari sudut pandang negatif saja, tetapi justru sebagai budaya positif untuk meneruskan rantai ilmu pengetahuan, keterampilan, maupun pengalaman dari generasi sebelumnya. Karena memang dengan cara seperti inilah spesies manusia bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan hingga mengembangkan peradaban sebesar ini.
Hal itulah juga sebetulnya yang sedang dilakukan oleh mahasiswa yang memang lebih senior dari anda yang saat ini masih SMA maupun kuliah. Kata "senior" yang dimaksud bukan berarti anda harus takut , tetapi justru merekalah sebagai orang yang lebih dulu mengalami apa yang anda alami sekarang, mau untuk berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan agar anda bisa lebih efisien dan efektif dalam belajar serta lebih cepat dalam berkembang. Dengan harapan kelak ketika anda juga menjadi senior, anda juga akan meneruskan budaya yang sama ke generasi berikutnya sehingga masyarakat kita bisa berkembang lebih baik lagi.

Sekarang setelah anda memahami kenapa ada fenomena senioritas ini dan kenapa budaya ini sebetulnya bisa diarahkan menjadi hal yang positif, baru saya membahas hal-hal yang lebih praktis buat kehidupan anda sebagai pelajar jadi, anda sebagai junior (maupun senior) untuk mengurangi efek yang negatif, dan maksimalkan dampak yang positif dalam lingkunganya masing-masing.

Saran untuk Senior: bagaimana caranya supaya bisa dihormati (secara sehat) dan membangun budaya interaksi yang positif dengan junior?


"Lha, emang apa sih manfaatnya berinteraksi sama junior? Kalo emang gua gak mau berbagi pengalaman dan gimana, emang harus ya?"


Tentu saja ini tidak keharusan untuk anda, saya ingin memberikan nasihat walaupun saya masih mahasiswa baru, juga tidak memberikan nasihat "Tapi kan alangkah baiknya kalau..." atau semacamnya. Dengan menjaga hubungan baik antar jenjang umur, baik kepada senior maupun junior, akan amat sangat bermanfaat bagi anda ke depannya. Jujur saja, kakak senior sekarang mungkin melihat para junior anda hanya sekumpulan anak culun yang tidak tahu apa-apa. Tapi seiring waktunya berjalan, 5-10 tahun lagi jenjang umur antar 1-2 tahun itu sudah tidak ada artinya sama sekali. Di dunia professional setelah anda kuliah nanti, nilai senioritas-junioritas itu akan terkikis dan gak hanya terbatas dengan perbedaan umur saja . Faktor-faktor yang lebih diperhitungkan justru adalah :
  • Bagaimana kualitas karakter anda? Apakah anda dikenal sebagai orang yang punya integritas, kedisiplinan, punya kemampuan, dan sebagainya.
  • Seberapa dalam anda mengkaji bidang yang anda tekuni?
  • Dan mungkin yang paling penting adalah seluas apa anda membangun koneksi anda dengan orang-orang berkualitas lainnya?

Nah, khususnya di point terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, para junior di mata anda  yang mungkin sekarang tampak culun ini bisa jadi akan berubah jadi orang-orang berkualitas yang kelak bisa jadi temen berdiskusi, sahabat seperjuangan anda, calon anak buah anda, partner kerja anda, sumber koneksi anda ke orang-orang penting, atau bahkan mereka bisa jadi atasan anda.
Nah, dengan melihat persepktif hidup yang lebih luas seperti ini. saya berharap anda bisa memandang para junior anda ini bukan sebagai target supaya anda bisa pamer atau jadi pesuruh anda saja, tapi justru jadi asset masa depan anda yang berharga! Asset dalam arti bukan jadi objek buat dimanfaatkan, tetapi justru untuk saling memberi manfaat satu sama lain.
Jadi, saya berfiikir kalo anda bisa ambil sikap secara positif dengan membantu adik-adik anda ini untuk bisa beradaptasi, anda bisa berbagi pengalaman anda bersama mereka, seperti memberikan bimbingan serta manfaat dalam menjalani rintangan dan hambatan yang sebelumnya pernah anda hadapi. Saya yakin mereka akan respect dengan anda dengan cara yang lebih natural, lebih sehat, dan pastinya lebih tulus dan tidak dibuat-buat. Dan akhirnya, dalam beberapa tahun ke depan anda akan jadi orang yang memiliki koneksi yang luas karena anda sudah membangun hubungan yang baik dengan setiap lingkungan anda. Dengan koneksi lo yang luas, peluang dan kesempatan anda juga lebih luas, dan anda akan jauh lebih mudah untuk survive dan nyaman kalo anda punya banyak kenalan dimana-mana yang bisa dengan rela bantuin anda dengan tulus kapan saja. Iya kan?
Sekian , semoga bisa bermanfaat bagi anda yang saat ini berada dalam posisi sebagai junior maupun senior, supaya masing-masing dari anda bisa membangun budaya interaksi yang positif dan saling bermanfaat satu sama lain, terimakasih.

Dinamika Senioritas di Lingkungan pelajar